September 10, 2011

Cleansed by The Blood


                 ". . . unto him that loved us, and washed us from our sins in his own blood."  –Revelation 1:5

Blood is mentioned 460 times in the Bible. Fourteen times in the New Testament Jesus spoke of His own blood. Why? Because by the shedding of His blood, He accomplished the possibility of our salvation. He paid the penalty for our sin and redeemed us. The penalty for our sin and rebellion is death; Jesus stepped out and said, “I’ll take that death.” He voluntarily laid down His life and took the penalty we deserve. That’s what the cross is all about.

The blood of Jesus Christ not only redeems us, it justifies us. Being justified means more than being forgiven. I can say, “I forgive you,” but I can’t justify you. But God not only forgives the past, He clothes you in righteousness as though you had never committed a sin. Yet it cost the blood of His Son on the cross.

Semangat untuk Bersiap-siaga


Karena Anak Manusia dating bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” – Markus 10:45


Allah tidak pernah menganggap enteng penyucian kita, tetapi Ia selalu mengujinya. Ia akan berdiri antara kita dan orang atau hal-hal yang kita cintai, sampai kita bisa melepaskannya dengan rela. “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak,” perintah Allah kepada Abraham (Kej. 22:2). Allah menuntut hal-hal yang kita kasihi  - “Ishak milik kita” – sesering mungkin untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang dapat dikorbankan. Allah tidak pernah menguji kita mengenai sesuatu yang kita benci. Namun sesuatu yang kita cinai dengan mudah menyimpangkan kita dari mematuhi kehendak-Nya.                                                                                                 
    Penyucian selalu membutuhkan semangat kesiapsiagaan. Pelita kita hendaknya selalu dipersiapkan sebaik-baiknya dan selalu menyala (Mat. 25: 1-13). Dengan mempersiapkan diri, kita mempersiapkan jalan Tuhan yang ingin sekali turun tangan dengan penuh pengampunan dalam setiap keadaan yang dialami manusia. Penyucian kita yang siap siaga berperan sebagai penangkal petir yang kokoh terpancang di tanah yang siap menerima kilatan kuasa Allah dan menyalurkannya bagi keperluan hidup orang lain.                                  
  Sebuah penyucian bukanlah urusan batin dan subjektif kita sehingga bertanya, “Apakah aku semakin suci setiap hari?” Sebaliknya, penyucian adalah hal yang terlihat dari luar, yang berkaitan dengan kesejahteraan rohani orang lain dan menimbulkan pertanyaan, “Bagaimana caraku menyampaikan kuasa dan kasih Bapa kepada mereka?’ Penyucian Yesus adalah surat cinta terbesar Allah bagi dunia. Aku disucikan dengan sempurna apabila aku menjadi salinan yang baik dari surat cinta itu.

Menjadi Perutusan Tuhan

“Lalu Ia berkata kepada mereka: ‘Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk’” – Markus 16:15

    Seorang murid Kristus harus belajar membedakan antara tugas pengutusan bagi semua orang Kristen dan panggilan pribadi. Tugas pengutusan merupakan hal yang umum dan fundamental, sedangkan panggilan pribadi bersifat khusus dan pribadi. Tanggung jawab utama dalam hidup kita adalah menjadi perutusan bagi Yesus Kristus; sementara tanggapan utama dalam hidup kita adalah melaksanakan panggilan pribadi yang ditentukan Allah untuk tugas atau kedududukan yang disediakan bagi kita.                                                           
     Kita mungkin akan memandang karya pekabaran Injil dan berkata, “Saya tidak dipanggil untuk menjadi seorang pekabar Injil.” Itu keliru. Setiap anak Tuhan harus menjadi pekabar Injil. Fungsi khusus Anda dalam melaksanakan tugas pengutusan mungkin berbeda dengan fungsi orang lain; walaupan Allah memanggil kita untuk fungsi yang berbeda, kita semua adalah pekabar Injil-Nya. Kita dapat menjadi seorang pengusaha, dokter, guru, tukang kayu, atau apapun juga sambil melakukan tugas kita sebagai pekabar Injil.                        
    Masalah dasar dalam tugas pengutusan mengabarkan Injil bukanlah terletak pada kenyataan apakah Anda melaksanakan tugas itu di Negara sendiri atau di Negara asing ataupun sebagai seorang awam Kristen. Masalahnya terletak pada apakah Anda mau menerima tugas pengutusan Allah atau tidak. Ketaatan lebih berarti daripada pengorbanan.

Kasih yang Menyelamatkan

   Allah memerintahkan kita untuk mengasihi orang lain. Bagaimanakpun, Ia tidak bermaksud agar kita seharusnya mengasihi orang lain secara alami, tetapi Ia ingin agar kita mengasihi sesama dengan kasih yang menyelamatkan. Kasih yang menyelamatkan ini adalah cara Allah mengasihi kita.                                                                                                                                                                                       Kasih yang menyelamatkan tidak pernah malu akan dirinya sendiri, sehingga Ia begitu sibuk dengan pihak yang dikasihi, bukan dengan perasaan-perasaannya sendiri. Yesus tidak menangis mengasihani dirinya sendiri, “betapa malangnya Aku,” ketika Ia tergantung pada kayu salib. Kasih yang menyelamatkan mengikat suatu hubungan yang langgeng dan itu adalah sebuah tenaga pengikat yang terkuat di dunia.                                                                                 Saat Anda berusaha memakai tenaga sendiri dalam melakukan perintah Allah, meskipun dalam hubungan biasa dengan orang lain, maka kita akan mulai merasa lelah. Cara satu-satunya yang bisa kita lakukan ialah menerima dan menyatakan kasih Allah yang menyelamatkan dalam kehidupan sehari-hari. Kasih ini tercurah oleh Roh Kudus.