Oktober 01, 2011

Trust in God's Power


Education is important, but we must always keep in mind that the wisdom of God is better and more valuable than worldly education and human philosophy. The apostle Paul was a highly educated man, but he firmly stated that it was God's power that made his preaching valuable, not his education.
I know lots of people who graduate from college with honors and degrees and have difficulty getting jobs. I also know people who have not had the opportunity to go to college who depend on God to give them favor and they end up with great jobs. Where is your trust? Is it in God or in what you know? No matter what we know, or whom we know, our trust should be in Christ alone and in His power.
Paul mentioned in 1 Corinthians 1:21 that the world with all of its human wisdom and philosophy failed to know God, but He chose to reveal Himself, and save humankind through the foolishness of preaching. Sadly, we often find that the more highly educated some people are, the more difficult it is for them to have simple, childlike faith. Too much head knowledge and reasoning can actually work against us if we are not careful, because we can know God only by the Spirit and the heart, not by the brain. Be sure to let your faith rest in the power of God and not in human philosophy to help in all areas of life. God's power can overcome any obstacle you may face in life.

Giving Back What is His

You know that the hardest thing for you to give up is  your money. It represents your time, your energy, your talents, your total personality converted into currency. 
We usually hold on to it tenaciously, yet it is uncertain in value and we cannot take it into the next world. The Scripture teaches that we are stewards for a little while of all we earn.
 If we misuse it, as did the man who buried his talent, it brings upon us the severest judgment of God. The tithe is the Lord’s.
 If you use it for yourself, you are robbing God. 
We are to take the tithe as a standard, but to go beyond the tithe is an indication of our gratefulness for God’s gifts to us.
 In the midst of sorrow and trouble, this life has many blessings and enjoyments which have come from the hand of God. Even our capacity for love is a gift from God. 
We show our gratitude by giving back to Him a part of that which He has given to us.

Unconditional Love


"Keep yourselves in the love of God . . . "
–Jude 21
A husband and wife visited an orphanage where they hoped to adopt a child. In an interview with the boy they wanted, they told him in glowing terms about the many things they could give him. To their amazement the little fellow said, “If you have nothing to offer except a good home, clothes, toys, and the other things that most kids have—why, I would just as soon stay here.” “What on earth could you want besides those things?” the woman asked. “I just want someone to love me,” replied the little boy. There you have it! Even a little boy knows that “man shall not live by bread alone.” Our deeper yearnings and longings can be met only by a renewed
fellowship with the One in whose image we were created, God.

September 10, 2011

Cleansed by The Blood


                 ". . . unto him that loved us, and washed us from our sins in his own blood."  –Revelation 1:5

Blood is mentioned 460 times in the Bible. Fourteen times in the New Testament Jesus spoke of His own blood. Why? Because by the shedding of His blood, He accomplished the possibility of our salvation. He paid the penalty for our sin and redeemed us. The penalty for our sin and rebellion is death; Jesus stepped out and said, “I’ll take that death.” He voluntarily laid down His life and took the penalty we deserve. That’s what the cross is all about.

The blood of Jesus Christ not only redeems us, it justifies us. Being justified means more than being forgiven. I can say, “I forgive you,” but I can’t justify you. But God not only forgives the past, He clothes you in righteousness as though you had never committed a sin. Yet it cost the blood of His Son on the cross.

Semangat untuk Bersiap-siaga


Karena Anak Manusia dating bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” – Markus 10:45


Allah tidak pernah menganggap enteng penyucian kita, tetapi Ia selalu mengujinya. Ia akan berdiri antara kita dan orang atau hal-hal yang kita cintai, sampai kita bisa melepaskannya dengan rela. “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak,” perintah Allah kepada Abraham (Kej. 22:2). Allah menuntut hal-hal yang kita kasihi  - “Ishak milik kita” – sesering mungkin untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang dapat dikorbankan. Allah tidak pernah menguji kita mengenai sesuatu yang kita benci. Namun sesuatu yang kita cinai dengan mudah menyimpangkan kita dari mematuhi kehendak-Nya.                                                                                                 
    Penyucian selalu membutuhkan semangat kesiapsiagaan. Pelita kita hendaknya selalu dipersiapkan sebaik-baiknya dan selalu menyala (Mat. 25: 1-13). Dengan mempersiapkan diri, kita mempersiapkan jalan Tuhan yang ingin sekali turun tangan dengan penuh pengampunan dalam setiap keadaan yang dialami manusia. Penyucian kita yang siap siaga berperan sebagai penangkal petir yang kokoh terpancang di tanah yang siap menerima kilatan kuasa Allah dan menyalurkannya bagi keperluan hidup orang lain.                                  
  Sebuah penyucian bukanlah urusan batin dan subjektif kita sehingga bertanya, “Apakah aku semakin suci setiap hari?” Sebaliknya, penyucian adalah hal yang terlihat dari luar, yang berkaitan dengan kesejahteraan rohani orang lain dan menimbulkan pertanyaan, “Bagaimana caraku menyampaikan kuasa dan kasih Bapa kepada mereka?’ Penyucian Yesus adalah surat cinta terbesar Allah bagi dunia. Aku disucikan dengan sempurna apabila aku menjadi salinan yang baik dari surat cinta itu.

Menjadi Perutusan Tuhan

“Lalu Ia berkata kepada mereka: ‘Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk’” – Markus 16:15

    Seorang murid Kristus harus belajar membedakan antara tugas pengutusan bagi semua orang Kristen dan panggilan pribadi. Tugas pengutusan merupakan hal yang umum dan fundamental, sedangkan panggilan pribadi bersifat khusus dan pribadi. Tanggung jawab utama dalam hidup kita adalah menjadi perutusan bagi Yesus Kristus; sementara tanggapan utama dalam hidup kita adalah melaksanakan panggilan pribadi yang ditentukan Allah untuk tugas atau kedududukan yang disediakan bagi kita.                                                           
     Kita mungkin akan memandang karya pekabaran Injil dan berkata, “Saya tidak dipanggil untuk menjadi seorang pekabar Injil.” Itu keliru. Setiap anak Tuhan harus menjadi pekabar Injil. Fungsi khusus Anda dalam melaksanakan tugas pengutusan mungkin berbeda dengan fungsi orang lain; walaupan Allah memanggil kita untuk fungsi yang berbeda, kita semua adalah pekabar Injil-Nya. Kita dapat menjadi seorang pengusaha, dokter, guru, tukang kayu, atau apapun juga sambil melakukan tugas kita sebagai pekabar Injil.                        
    Masalah dasar dalam tugas pengutusan mengabarkan Injil bukanlah terletak pada kenyataan apakah Anda melaksanakan tugas itu di Negara sendiri atau di Negara asing ataupun sebagai seorang awam Kristen. Masalahnya terletak pada apakah Anda mau menerima tugas pengutusan Allah atau tidak. Ketaatan lebih berarti daripada pengorbanan.

Kasih yang Menyelamatkan

   Allah memerintahkan kita untuk mengasihi orang lain. Bagaimanakpun, Ia tidak bermaksud agar kita seharusnya mengasihi orang lain secara alami, tetapi Ia ingin agar kita mengasihi sesama dengan kasih yang menyelamatkan. Kasih yang menyelamatkan ini adalah cara Allah mengasihi kita.                                                                                                                                                                                       Kasih yang menyelamatkan tidak pernah malu akan dirinya sendiri, sehingga Ia begitu sibuk dengan pihak yang dikasihi, bukan dengan perasaan-perasaannya sendiri. Yesus tidak menangis mengasihani dirinya sendiri, “betapa malangnya Aku,” ketika Ia tergantung pada kayu salib. Kasih yang menyelamatkan mengikat suatu hubungan yang langgeng dan itu adalah sebuah tenaga pengikat yang terkuat di dunia.                                                                                 Saat Anda berusaha memakai tenaga sendiri dalam melakukan perintah Allah, meskipun dalam hubungan biasa dengan orang lain, maka kita akan mulai merasa lelah. Cara satu-satunya yang bisa kita lakukan ialah menerima dan menyatakan kasih Allah yang menyelamatkan dalam kehidupan sehari-hari. Kasih ini tercurah oleh Roh Kudus.